PC IPNU-IPPNU

PC IPNU-IPPNU

Minggu, 23 Maret 2014

Bid'ah dan Macamnya

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal
Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini
disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy
Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah
secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian
mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya,
baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah
SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama)
yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut
tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua
perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin
saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan
ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada
sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan
oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu
pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang
tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar,
belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik.
Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam
Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ
السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai
dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan
sunnah itulah yang tercela”.
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih
berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin
Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini,
marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya
Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ
وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka
ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan
tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang
mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan
dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa
mereka sedikit pun”.
Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan
itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai
sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa
bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan
kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai
dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil
pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A
berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak
mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat
jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits
di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat
bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam
satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu
mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk
neraka”.


Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam
Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan
paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal
jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل
سفينة sama dengan
كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah
kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti
dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma
untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut
bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh
sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan
merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari
segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan
generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara
baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka
dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat
mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’
(cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang
mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian
hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh,
khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu
hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut.
Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah
(yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki
dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya.
Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan
kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah
ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’,
tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah
(relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik
tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah
tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut
digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang
memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya.
Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung
mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang
melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak
termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh
dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama,
bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak
pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu
atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman
syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah
dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun
pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah
ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti
menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima,
bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat
Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran
lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian
menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan
untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya,
ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat.
Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main
dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar