PC IPNU-IPPNU

PC IPNU-IPPNU

Minggu, 23 Maret 2014

Alian Murji'ah



Bab I
Pendahuluan

Nama Murji’ah di ambil dari kata  Irja atau arja’a” Yang bermakna “Penudaan,penangguhan dan pengharapan” Kata arja’a mengandung pula arti memberi Harapan, Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu , Arja’a berarti pula meletakaan di belakang atau mengumudikan, yaitu orang yang mengemudi amal dari Iman . Oleh karna itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang berdengketa yakni Ali dan Mu’awiyah serta pasukaannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Bagi kaum Murji'ah, orang yang melakukan dosa besar adalah tetap mukmin, soal dosa besar yang dilakukannya merupakan hak Tuhan untuk menentukannya di hari
kemudian. Alasan mereka adalah bahwa orang yang melakukan dosa besar itu masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan (Rasul) Allah, atau dengan kata lain masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar iman. Selanjutnya, kaum Muhajirin memberikan harapan bagi orang Islam yang melakukan dosa besar, dengan mengatakan bahwa mereka tidak kekal di dalam neraka aliran Murji’ah menganggap iman lebih utama dari amal perbuatan


























1
 
Bab II

A.   Asal Usul Aliran Murji’ah

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a di kembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindar sektarianisme. Murji’ah,baik sebagai kelompok politik maupun teologis, di perkirakan lahir bersaman dengan kemunculan Syiah dan Khawarij.
Kaum Murji’ah lahir pada permulaan abad ke 1 Hijriyah setelah melihat hal-hal yang dibawah ini :
a.       Kaum Syi’ah menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang-orang yang merebut pangkat Kholifah dari Sayidina Ali.
b.      Kaum Khawarij menghukum kafir khalifah Mu’awiyah karena melawan pada Khalifah yang sah, Yaitu khalifah Ali bin Thalib. Begitu  juga kaum Khawarij menghukum kafir sayidina Ali karena menerima “Tahkim” dalam peperangan “Sifin”
c.       Kaum Mu’awiyah menyalahkan orang-orang pihak Ali, karena memberontak melawan sayidina Utsman bin Affan.

Pada ketika situasi yang gawat itu lahirlah sekumpulan umat islam yang menjauhkan diri dari pertikaian, yang tidak mau ikut menyalahkan orang lain,  tidak ikut-ikut menghukum kafir atau salah, tidak mau mencampuri persoalan, seolah – olah mereka mau “pangku tangan’ saja. Sehingga ketika di tanya bagaimana pendapat mereka tentang mu’awiyah dan anaknya, Yazid, mereka menjawab : “ Kita tangguhkan persoalannya sampai di hadapan Tuhan dan di situ kita lihat mana yang bener “. Dan jika di tanya bagaimna pendapat tentang sikap kaum Khawarij yang Lancang dan Kaum Syiah yang lancang maka mereka menjawab : “ Sebaiknya kita tangguh kan saja sampai di hadapan Tuhan dan kita lihat nanti bagaimna Tuhan menghukum atau memberi pahala mereka “ . Begitu juga ketika di tanya tentang Sayidina Utsman bin Affan dan penentang-penentangnya. Sehingga pada saat pembaitan sayidina Ali mereka lebih memilih menjauhkan diri dari p0litik yang kacau pada saat itu.

Dengan kata lain semua masalah mereka tangguhkan sampai kehadirat Tuhan yang akan memberikan hukuman yang adil. Mereka tidak melahirkan apa-apa dan mereka hanya berpangku tangan saja.

B.   Doktrin-doktrin Murji’ah

Ajaran pokok  Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja, atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik doktrin irja’ diimplementasikn dengan sikap politik netral atau nonblok, kelompok
selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebab kelompok Murjiah di kenal pula sebagai the quietists ( kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membut Murji’ah selalu diam dalam peersoalan politik.

2
 
Adapun di bidang teologi , doktrin irja’ di kembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya , persoalan-persoalan yang di tanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Qur’an, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi ( the impeccability of prophet), hukuman atas dosa besar(punishment of sins), Ada yang kafir(infidel) di kalangan generasi awal islam, tobat  ( redress of wrongs), Hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan tuhan ( predestination).
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery, Watt merincinya sebagai berikut :
A.    Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskan di akhirat kelak.
B.     Penangguhan Ali untuk menduduki ranking., keempat dalam peringkat AI-Khalifah Ar-Rasyidun.
C.     Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
D.    Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan dokterin teolgi Murjiah , Harun Nasitions menyebutkan empat ajaran pokoknya Yaitu.

A.    Menunda hukuman Ali , Muawiyah bin Ash dan Abu Musa Al Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah SWT di hari kiamat nanti.
B.     Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang melakukan berdosa besar.
C.     Meletakan ( pentingnya) iman daripada Amal.
D.    Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan Rahmat Allah SWT.

C.   Sekte-sekte Murji'ah

Kemunculan sekte-sekte dalama kelompok Murji'ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) dikalangan pendukung Murji'ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah itu sendiri . Dalam hal ini terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklarifikasikan sekte-sekte Murjiah. Kesulitannya diantara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran aliran tertentu yang mengklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak di klaim oleh pengamat lain. Tokoh yang di maksud adalah Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.

Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte murjiah Yaitu :

1.      Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan.
2.      Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi.
3.      Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.
4.      As-samriah, pengikut Abu Smar dan Yunus.
5.      Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
6.      Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimasqy.
7.      An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
8.      Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
9.      Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.
10.  Al-Mu’aziyah, pengikut Mu’adz Ath-Thaumi.
11.  Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
12.  Al-Kalamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
3
 
Harun Nasution secara garis besas Mengklarifikasikan Murjiah di bagi dua sekte yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. “ Murjiah moderat berpendirian bahwa pelaku pedosa besar tetap mukmin, Tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosany, dan bila dia Ampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rosulnya serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar, Iman tidak bertambah tidak berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagasan pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Tholib, Abu Hanifah, Abu yusuf dan beberapa Ahli hadist Lainnya. Adapun yang termasuk Murj’ah Ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunushiyah, Al-Ubudiah dan Al-Hasaniyah.

D.    I’tiqad Kaum Murjiah Yang Bertentangan Dengan I’tiqad Kaum Ahlusunnah Wal Jama’ah
Pada mulanya Murji’ah ini dari golongan Ahli Sunnah Waljama’ah, hingga kemudian persoalan mereka menjadi semakin berat karena mereka menambahkan pernyataan-pernyataan yang memberatkan. Manakala orang-orang telah menasabkan diri kepada Murji’ah, termasuk mereka yang masyhur, maka berbicaralah imam-imam sunnah yang terkenal untuk mencela Murji’ah yang berlebih-lebihan.
Murji’ah yang mengatakan bahwa ian adalah tashdiq (pembenaran) hati dan ucapan lisan, sementara amalan-amalan tidak termasuk unsur di dalamnya, di antara mereka terdapat fuqaha Kufah dan para ahli ibadah, dan tidak menjadikan perkataan mereka sama seperti perkataan Jahmiyah.
Para ahli kalam dan fuqaha Murji’ah mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan bisa dinamakan iman secara majazi, karena amal merupakan buah dan realisasi iman sekaligus menunjukkan keberadaannya.Kaum Murjiah membentuk suatu faham dalam Ushuluddin yang berbeda, bukan saja dengan kaum Khawarij dan kaum Syi’ah tetapi juga dengan kaum Ahlusunnah wal Jama’ah.
Paham yang dibentuknya ini ialah paham mereka sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang menjadi sandaran bagi kaum Murjiah tadi, seperti Abdullah bin Umar, Abi Bakrah dan lain-lainnya tidak sepaham dengan kaum Murjiah ini.

Paham-Paham itu adalah:

1.      Iman itu ialah mengenal Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya.

Kalau kita sudah mengenal Tuhan dan Rasul-Nya maka itu sudah cukup, sudah menjadi mu’min. Sebahagiaan kaum Murjiah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beritiqad, bahwa asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-Rasul-Nya maka kita sudah mu’min walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghinna Nabi, menghina Qur’an dan lain-lain sebagainya.
Kaum Murjiah mengatakan juga, bahwa orang mu’min yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya pada Rasul-Rasul maka, ia adalah mu’min walaupun ia mengerjakan segala macam dosa besar atau dosa kecil.
I’tiqad kaum Murjiah ini bertentangan dengan paham kaum Ahlusunnah wal Jama’ah, yang mengatakan bahwa iman itu harus percaya pada 6 fatsal, yaitu percaya pada adanya Allah, percaya pada Rasul-Nya, percaya pada Malaikat-Malaikat-Nya, percaya pada kitab-kitab-Nya, percaya pada hari akhirat dan percaya pada qadha dan qadar.
5
 
Kepercayaan kepada Allah dan Rasul saja tidak cukup. Kaim Murjiah dengan i’tiqaqadnya ini seolah-olah menentang kaum Khawarij yang berpendapat bahwa iman itu ialah mengenal Allah dan Rasul, mengerjakan sekalian suruha Tuhan dan menghentikan sekalian larangan-Nya. Bagi kaum Khawarij, bahwa orang-orang yag percaya kepada Tuhan dan kepada Rasul-Nya, tetapi tidak sembahyang tidak puasa atau tidak mengerjakan amal-amal ibadat yang lain maka orang itu kafir yang halal darahnya. Kaum Murjian ini seolah-olah menentang kaum Syi’ah yang berpaham bahwa sebahagiaan dari iman ialah percaya kepada Iman-iman, bukan hanya iman kepada Allah dan Rasul-Nya saja.



4
 

2.      Orang yang telah iman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi kaum Murjiah orang ini mash mu’min.

Paham ini bertentanggan dengfan I’tiqad kaum Ahlusunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa seorang mu’min menjadi kafir (murtad) kalau ia mengerjakan suatu hal yang membawa kepada kekafiran, seumpama menyembah berhala, mengejek-ngejek Nabi atau mengejek-ngejek kitab suci, sujud kepada manusia, menghalalkan yang telah sepakat ulama Islam mengharamkannya (umpama zina, liwath, mencuri, makan riba dan lain-lain), mengharamkan yang telah sepakat umal Islam menghalalkannya (seumpama kawin, jual beli, makan daging lembu dan lain-lainnya).

3.        I’tiqad menangguhkan:

I’tiqad menangguhkan dari kaum Murjiah, yakni menangguhkan orang yang bersalah sampai ke muka Tuhan pada hari kiamat, ditentang oleh kaum Ahlusunnah wal Jama’ah, karena setiap orang yang salah harus dihukum di dunia ini.
Kalau kita ikuti paham Murjiah ini maka ayat-ayat hokum seperti menghukum pencuri dengan potong tangan, menghukum rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafarat dal lain-lain yang banyak tersebut dalam Qur’an tak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
Semua yang terjadi di dunia ini ukurlah dengan Qur’an dan Hadits itu, kalau salah, salahkanlah dan kalau benar benarkanlah. Yang benar harus benar, yang salah harus salah. Ukurannya adalah Qur’an dan hadits, bukan aqal. Begitulah paham dan I’tiqad kaum Ahlusunnah wal Jama’ah.
















5
 
BAB III
PENUTUPAN

A.   Kesimpulan

Ø  Nama Murji’ah di ambil dari kata  Irja atau arja’a” Yang bermakna “Penudaan,penangguhan dan pengharapan” Murji’ah artinya penangguhan atas orang-orang yang berseketa atau orang-orang yang melakukan dosa besar sampai dihadapan Allah kelak.
Ø  Kaum Murji’ah lahir pada permulaan abad ke 1 Hijriyah yang disebabkan adanya bersengkataan masalah politik antara Ali dan Mu’awiyah sehingga ada sekelompok orang yang menjaukan diri dari pertikaian serta tidak mencampuri persoalan yang dianggap rumit pada saat itu, mereka seolah-olah hanya berpangku tangan saja.

Ø  Harun Nasitions menyebutkan empat ajaran pokoknya Yaitu.

A.    Menunda hukuman Ali , Muawiyah bin Ash dan Abu Musa Al Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah SWT di hari kiamat kelak.
B.     Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang melakukan berdosa besar.
C.     Meletakan ( pentingnya) iman daripada Amal.
D.    Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan Rahmat Allah SWT

Ø  Beberapa sekte-sekte kaum Murjiah.
1.      Aljamiyah pengikut Jahm bin Shafwan
2.      Shalihiyah, pengikut Abu Hasan Ash-Shalihi
3.      Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.
4.      As-samriah, pengikut Abu Smar dan Yunus.
5.      Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
6.      Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimasqy
7.      An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
8.      Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
9.      Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.
10.  Al-Mu’aziyah, pengikut Mu’adz Ath-Thaumi.
11.  Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
12.  Al-Kalamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistan


Ø  . I’tiqod Murjiah bertentangan dengan Ahlusunah wal jama’ah diantaranya tentan iman. Murjiah menganggap jika dalam hati sudah beriman kepada Tuhan maka sudah lebih dari cukup sekalipun melakukan dosa besar berbeda dengan pendapat Ahlussunah wal jamaah yang mengimani atas enam dasar





6
 

Daftar Pustaka
-         Dr. Abdul Rojak, M.Ag. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Kalam
-        
7
 
Harun Nasition, Teologis Islam

Bid'ah dan Macamnya

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal
Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini
disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy
Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah
secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian
mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya,
baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah
SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama)
yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut
tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua
perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin
saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan
ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada
sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan
oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu
pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang
tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar,
belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik.
Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam
Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ
السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai
dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan
sunnah itulah yang tercela”.
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih
berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin
Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini,
marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya
Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ
وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka
ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan
tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang
mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan
dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa
mereka sedikit pun”.
Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan
itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai
sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa
bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan
kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai
dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil
pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A
berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak
mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat
jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits
di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat
bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam
satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu
mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk
neraka”.


Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam
Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan
paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal
jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل
سفينة sama dengan
كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah
kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti
dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma
untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut
bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh
sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan
merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari
segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan
generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara
baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka
dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat
mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’
(cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang
mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian
hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh,
khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu
hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut.
Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah
(yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki
dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya.
Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan
kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah
ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’,
tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah
(relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik
tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah
tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut
digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang
memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya.
Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung
mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang
melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak
termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh
dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama,
bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak
pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu
atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman
syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah
dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun
pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah
ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti
menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima,
bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat
Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran
lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian
menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan
untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya,
ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat.
Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main
dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.